Pada bulan Juni kemarin, pas banget dengan liburan sekolah saya pulang kampung. Kebetulan sekali di desa kelahiran saya sedang ada karnaval. Dan seperti desa di Kabupaten Malang pada umumnya, karnaval di desa saya menggunakan sound horeg. Wah jadi pengalaman pertama nonton sound horeg nih. Kebetulan rumah orang tua di tepi jalan raya yang dilewati sound horeg, jadi bisa nonton dari teras rumah.
Sebenarnya desa saya bukanlah desa yang besar, hanya terdiri dari 4 dusun, dan beberapa RW yang terbagi lagi menjadi satuan yang lebih kecil yaitu RT. Saya tidak tahu berapa jumlah RT yang ada, yang jelas peserta karnaval kemarin ada 18 dan hanya 3 yang dari sekolah.
Menurut kabar yang beredar, di wilayah RT Tempat Bapak dan Ibuk saya tinggal, warganya dipisah menjadi dua golongan yaitu golongan tua dan golongan muda. Untuk golongan tua mendapat bagian memenuhi kebutuhan konsumsi sedangkan golongan muda mendapat bagian karnaval termasuk iuran untuk menyewa sound horeg.
Bapak saya yang termasuk golongan sepuh hanya terkena iuran Rp 100.000 sementara salah satu saudara yang seumuran sama saya, sempat dimintai iuran sebesar satu juta. Tapi karena dirasa terlalu berat, dia hanya membayar separuhnya saja. Untunglah enggak apa-apa katanya.
Selain membayar iuran, saudara saya juga masih harus mengeluarkan uang untuk sewa pakaian dan make up putrinya yang menjadi peserta karnaval. Kalau dihitung-hitung menghabiskan kurang lebih 800 ribu, belum dihitung uang yang buat beli jajanan selama nonton.
Kata dia sih itu belum seberapa, karena ada yang iuran 5 juta bahkan sampai 10 juta hanya demi menyewa sound horeg. Hmmm kalau saya sih uang segitu mending ditabung buat upgrade laptop.
Sehari sebelum karnaval, beberapa truk besar lengkap dengan sound lewat di jalan raya depan rumah. Memang seperti itulah tradisinya. Sehari sebelum hari H diadakan kegiatan "check sound". Jadi, sound raksasa yang telah disewa tadi d set-up sekaligus dites pada malam harinya.
Check sound horeg ini ada yang dilakukan terpusat atau jadi satu, biasanya di sebuah lapangan besar. Tapi ada juga yang dilakukan terpisah. Yaitu, "sound horeg" di tes di lokasi yang berbeda sesuai dengan loksi penyewanya.
Tidak hanya suara yang diperdengarkan pada malam "check sound" tapi juga tata lampu atau lighting yang ditempatkan di bagian belakang mobil sound horeg.
Saya akui, penataan lampu sorot warna-warni memang menarik untuk djadikan tontonan, dan kreativitas mereka patut diacungi jempol, tapi yang enggak kuat itu suara sound horegnya ituloh...
Menurut kabar juga, harga sewa sound horeg itu berbeda-beda. Semakin kuat suara yang dihasilkan dan entah apa lagi parameter lainnya yang membuat masing-masing sound horeg memiliki kelasnya masing-masing.
Beruntung check sound yang di dekat rumah, bukanlah yang mahal jadi suaranya keras tapi enggak sampai menimbulkan dampak lainnya. RT sebelah yang katanya paling mahal juga terdengar suaranya dari rumah. Berhubung saat check sound turun hujan, saya tidak tertarik untuk menontonnya. Padahal sebenarnya penasaran juga gimana suara sound system yang katanya saat itu paling mahal disewa oleh warga.
Memangnya Bagaimana Sih Rasanya Mendengar Sound Horeg yang Betul-betul Horeg?
Jadi begini,
Pada hari H, beberapa peserta sudah melintas. Memang suara soundnya keras sekali, dari kejauhan saja sudah terdengar suaranya. Mungkin ini juga yang jadi pertimbangan mengapa jarak antar pesertanya cukup jauh, biar suaranya tidak saling mengganggu.
Kira-kira jam sebelas malam, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Beberapa penonton berteduh di teras rumah. Anak-anak saya dan keponakan yang memang kurang begitu tertarik untuk menonton (tapi tetep antusias untuk jajan) malah beranjak tidur. Kata mereka, "Oalah begini ta sound horeg itu, B aja, cuma joget-joget dan suara musiknya keras" Saya jadi ikut-ikutan tidur juga.
Walaupun hujan turun dengan deras, para peserta tetap semangat loh. Mereka tetap melaju menuju ke garis finish sambil berjoget mengikuti irama yang jedag-jedug itu. Padahal ada diantara mereka yang memakai pakaian adat Bali yang seperti kemben, ada yang pakai kebaya pres bodi semua lengkap dengan make up khas karnaval.
Kalau dipikir, apa nggak kedinginan ya mereka? Menjelang tengah malam hujan-hujanan dengan pakaian seperti itu. Ya mungkin memang dingin, tapi karena semangat dan terus bergerak (joget) jadi rasa dinginnya itu tidak terasa lagi.
KIra-kira jam satu malam saya terbangun, saya lihat pintu rumah masih belum dikunci. Ternyata, Ibuk masih nonton. "Mumpung lewat depan rumah, kalau enggak gini, enggak bakalan nonton" Kata beliau.
Ternyata selama saya tidur, kurang lebih dua jam itu baru satu peserta yang lewat. Mungkin gara-gara hujan, jadi peserta di garis start ditunda dulu keberangkatannya.
Dan gongnya alias sound horeg paling mahal adalah peserta terakhir. Sekitar jam 03.00 dinihari baru lewat depan rumah, yang kebetulan juga menjadi titik kumpul penonton lainnya. Di tempat yang lebih ramai begini peserta karnaval tidak hanya sekedar lewat tapi juga melakukan atraksi. Otomatis truk pengangkut sound horeg juga berhenti disitu. Dan ternyata beginilah rasanya mendengar suara sound horeg yang benar-benar horeg.
Sound yang terakhir ini saat lewat memang membuat dada ikut berdentum, dan pada saat truk berhenti tak jauh dari rumah, yang saya rasakan lebih kompleks lagi.
Awalnya telinga terasa gatal, rasa gatal itu menjalar dari bagian luar telinga lalu masuk kebagian dalam. Setelah itu menjalar ke tenggorokan, ikut gatal juga seperti mau batuk. Rasanya persis seperti ketika kita membersihkan telinga kemudian batuk-batuk. Bedanya saat ini yang menggelitik telinga adalah suara, bukan cotton bud atau pembersih telinga lainnya.
Semakin lama, tenggorokan semakin gatal, namun saya tahan untuk tidak batuk. Ternyata lama-lama menjalar ke perut, rasanya mual sekali seperti mau muntah. Gak mungkin dong saya h*ek-h*ek di situ, saya tahan-tahan juga sebisa mungkin.
Untunglah pada saat itu saya memakai pashmina, sehingga ujungnya saya pakai untuk menutupi mulut dan sebagian wajah saya agar tak terlihat kalau mual-mual. Mata saya sampai agak berair karena menahan rasa mual dari perut saya yang rasanya seperti diaduk-aduk itu. Pelan-pelan saya pun menjauh, mencari jarak yang lebih aman.
Padahal jarak saya dengan truck sound saat itu 25 meteran, masih cukup jauh. Enggak kebayang bagaimana rasanya menjadi peserta karnaval yang harus mengikuti sound dalam jangka waktu yang lama.
Apalagi peserta karnaval tidak hanya orang dewasa tapi juga anak-anak. Apa enggak bahaya tuh? Telinga aman? Ampun deh rasanya, enggak ada asik-asiknya.
Setelah melihat sendiri, saya jadi tahu ooh, begini toh sound horeg itu. Ternyata saya lebih menyukai karnaval zaman dulu. Semua orang bisa ikut, anak-anak berdandan profesi, para pemuda dengan kreativitasnya, para orang tua dengan dandanannya masing-masing. Ada yang jadi pahlawan seperti Panglima Sudirman, Pangeran Diponegoro ada yang jadi wali songo, jadi petani dan lain sebagainya.
Karnaval zaman dahulu lebih bisa merangkul semua lapisan masyarakat, semua bisa ikut tanpa harus sewa pakaian, tanpa make up yang mahal tapi semua senang.
Zaman sekarang yang ikut ya yang mau "tampil", mau joget lengkap dengan kostum sewaan dan make up yang tebal. Wa;laupun begitu, masih ada yang mengatakan karnaval sound horeg ini masih mengusung budaya karena masih mengenakan pakaian adat. Tapi budaya enggak sekedar pakaian kan?
Lagipula pakaian adat yang dipakai cenderung pakaian yang agak terbuka dan maaf "ketat". Mengusung budaya darimananya itu?
Pokoknya saya lebih suka menonton karnaval zaman dahulu. Kalau ada yang bilang, sound horeg menggerakkan ekonomi masyarakat karena banyak transaksi jual beli dari pedagang dan penonton. Hei...memangnya karnaval zaman dahulu enggak ada yang jualan? Enggak ada yang nonton? Enggak ada yang beli?
Kalau mau karnavalnya ramai tanpa adu goyang dan seksi, coba deh adu kreativitas. Saya yakin keramaiannya pun enggak akan kalah sama ramainya sound horeg.
Kalau saya bicara seperti ini di media sosial lain yang lebih terbuka, pasti saya sudah diserang habis-habisan sama penggemar sound horeg. Saya yang males ribut, mending diam.
Saya pilih menulis disini saja, toh saya juga enggak menutup kolom komentar. Kalau enggak setuju silakan berkomentar di kolom yang disediakan.
Kalau Anda, bagaimana? Setuju dengan sound horeg?