Powered by Blogger.

Pages

  • Beranda
  • tentang Retno...
  • Disclosure

lemaripojok

Kuraih tasku dan bergegas menuruni tangga. Kantor sudah sepi karena memang aku yang terakhir pulang. Hanya tersisa Marco si penjaga malam di kantorku. Setelah menyapa dan berpamitan pada Marco, aku pulang melewati rute yang biasa aku lalui. Sengaja kupilih rute itu karena mempersingkat perjalananku pulang. Melewati sebuah gang kecil diantara gedung raksasa.

Hanya lampu temaram dari ujung gang dan cahaya yang menerobos tirai dari dalam gedung yang menerangiku. Udara mulai terasa dingin. Kunaikkan krah mantelku. Rok midi, stocking hitam panjang dan sepatu boot yang tingginya hanya beberapa cm dari ujung rokku telah melindungi kakiku dari dinginnya malam.

"Hai" sapamu tiba-tiba. "Lebih malam dari biasanya, lembur ya?" Ujarmu lagi. Aku hanya menoleh sekilas sambil tersenyum dan mengangguk pelan. Bukannya aku tak sudi melihatmu. Tapi aku tak sanggup melihat sinar matamu yang teduh dan dalam, seakan menghujam jantungku. Aku tak mampu melihat senyumanmu yang membuat hatiku seolah-olah dipenuhi balon warna-warni. Aku tertunduk dan terdiam, menahan jantungku agar tidak berdetak terlalu keras.

Ah, pria ini yang kukenal hanya sekilas. Kami bertemu di kafe di depan kantorku. Aku tak tahu mengapa pertemuan singkat itu mampu membuatku bercerita tentang diriku. Karena matanya, senyumnya atau bau parfumnya yang lembut tapi sangat laki-laki itu. Entahlah apa yang ada pada dirinya begitu memikatku. Hingga disinilah kami saat ini.

Sudah seminggu ini dia selalu menemaniku perjalanan pulangku melewati lorong sempit ini. Membuatku jadi merasa aman dan dalam hati selalu berharap agar lorong ini tak segera berakhir.
 
Lorong itu memaksa kami bejalan berdekatan, hingga aroma parfumnya sampai juga di ujung hidungku. Kuhirup pelan-pelan dan enggan kuhembuskan lagi. Berharap aromanya akan tinggal di hidungku dan menemani malamku yang penuh hayalan akan dirinya. Pelan-pelan kulirik wajahnya, ternyata dia pun sedang melirikku. Sama sama terpergok, kami pun hanya tersenyum malu-malu.

Hiruk pikuk kota masih terdengar, maklumlah kota sebesar ini seakan tak mempunyai malam. Dari kejauhan terdengar sirine mobil polisi, diikuti mobil pemadam kebakaran. Aku berdoa dalam hati, semoga semua akan baik-baik saja.

Sebuah tangan yang kokoh tiba-tiba meraih tanganku. Kulihat sebuah senyuman menghias wajahnya. Sedangkan matanya seolah-olah mencari-cari kedalam relung hatiku. "Ah apa yang kau cari ..." Pikirku. " Tanpa kau minta pun akan kuserahkan hati ini untukmu " ujarku dalam hati.

Tiba-tiba dia menahan langkahku, ditariknya tubuh ini mendekat padanya. Aku berjalan mundur. Celakanya aku malah terdesak ke dinding. Terdiam di tempat, aku tak bisa bergerak lagi. Kami berhadap-hadapan, dekat...sangat dekat.

Saking dekatnya jarak kami, sampai hembusan nafasnya mengenai wajahku. Mata itu kembali membuatku tak berkutik. Tangan kanannya menggenggam kuat tangan kiriku, sedangkan tangan kirinya diletakkan dadanya.


 "Lana...maukah kau..." Ujarnya tertahan. Tangan kirinya cekatan membuka kancing kemejanya yang paling atas. "Apa-apaan ini " pikirku. Sambil berusaha berontak kusapu pandanganku kesekeliling berharap ada orang yang lewat. Aku berteriak namun tenggorokanku tercekat.

Setelah kulihat kancing bajunya yang teratas terbuka, kubuang pandanganku ke samping. Kupejamkan mataku kuat-kuat sambil mulutku terus bergumam melanturkan doa-doa yang sempat ku ingat. Tiba-tiba aku merasa muak padanya, aku benci dan perutku merasa mual mencium aroma parfumnya. Menyesal aku pernah bersimpati, bahkan pernah berharap lebih padanya. Aku benci ... benar-benar benci.

Tiba-tiba genggaman tangannya terlepas dan terdengar sesuatu jatuh di dekat kakiku. Kubuka mataku perlahan .... Tak ada siapa-siapa di depanku.

"Lana ... aku nitip bajuku ya... tolong cucikan sekalian, aku nggak sempat nyuci karena banyak kejadian dan aku harus segera ke TKP.  Maaf ya sudah merepotkanmu"

Seseorang berpakaian serba biru yang ketat, jubah merah dan celana dalam yang dipakai diluar menyapaku dari atas sambil terbang berputar-putar.

"Jadi ... Kamu ..." Kataku terbata-bata.

"Iya ini aku ... aku tinggal dulu ya ... jangan lupa titipanku, itu yang di dekat kakimu ... makasih yaaa ...bye ...." Katanya sambil melesat ke atas.

Tinggal aku yang terbengong-bengong sendirian. Masih tak percaya, kucubit pipiku ... sakit. Kuantukkan kepalaku ke dinding ... benjol. Ah memang ini kenyataan.

Melihat seonggok pakaian di dekat kakiku, aku hanya tersenyum kecut.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
"Hilal, PR matematika kamu sudah selesai kau kerjakan?" Tanya Adam pada teman sebangkunya, Hilal. "Sudah dong, kemarin sepulang sekolah langsung aku kerjakan," Jawab Hilal. "Punyaku masih utuh, belum aku kerjakan. Kemarin sempat kulihat-lihat, sepertinya sulit." Adam berkata dengan kurang semangat. "Nah...itu dia sebabnya, kenapa PRnya kelihatan sulit. Belum mengerjakan aja, sudah bilang sulit hehehe..."timpal Hilal sambil tertawa. Adam hanya tersenyum kecut.

Adam adalah teman Hilal semenjak keduanya sekolah TK. Dan kini bersekolah di SD yang sama. Kebetulan juga mereka selalu satu kelas sejak kelas satu sampai sekarang kelas empat. Tak heran kalau keduanya menjadi teman akrab dan duduk sebangku.

"Memangnya kamu bisa mengerjakan PR matematika itu?" Tanya Adam dengan penasaran. "Bisa dong, buktinya sekarang sudah selesai walaupun besok baru dikumpulkan" jawab Hilal. "Kamu kerjakan sendiri?" Adam masih penasaran. "Mmm... enggak sih, aku dibantu bundaku."

"Ah enaknya kamu, ada bundamu yang bantu mengerjakan PR" Kata Adam sambil menunduk.

"Iya dong... bundaku pintar lho, kalau aku tanya apa saja pasti tahu jawabannya," jawab Hilal.

"Wah asyik dong" sahut Adam.

Diam diam dalam hati Adam ada rasa iri menyelinap. Dia iri pada Hilal yang bundanya selalu ada untuk Hilal, belajar bersama, bercerita, bahkan bermain bersama.

Pernah pada suatu hari Adam datang ke rumah Hilal untuk mengembalikan buku. Dari teras rumah terdengar tawa riuh rendah. Rupanya Hilal sedang bermain perang perangan dengan Ikram adiknya. Kedua kakak beradik itu mengenakan topeng yang terbuat dari karton bekas susu. Kata Hilal topeng itu dibuatkan oleh bundanya. Hilal dan Ikram bertugas mewarnai dengan krayon. Adam teringat akan topengnya di rumah, dibelikan mama dua minggu yang lalu. Topeng yang jauh lebih bagus dari milik Hilal, tapi Adam tidak pernah merasakan kebahagiaan saat memainkannya. Seperti kebahagiaan Hilal yang nampak dari tawa lebar dan peluhnya yang bercucuran karena asyik bermain.

Mama Adam adalah karyawati di sebuah perusahaan swasta. Sebenarnya, Adam rela meskipun mama bekerja, asalkan ada waktu untuk dirinya dan adiknya, Athia. Tapi mama terlalu sibuk. Jangankan bermain bersama, bertemu saja jarang.

Adam juga ingin merasakan suasana rumah yang hangat seperti di rumah Hilal. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala Adam."Hilal, bolehkah aku ikut belajar bersama di rumahmu? Akhir-Akhir ini aku agak kesulitan memahami pelajaran." Adam beralasan. Sebenarnya Adam hanya ingin merasakan kehangatan dan perhatian seperti yang dirasakan Hilal. Sesuatu yang tidak terpikirkan oleh mamanya.

"Boleh saja, kapan mulainya? Nanti aku bilang sama bundaku" jawab Hilal. Hampir terlonjak Adam mendengar jawaban Hilal, dengan cepat dia menjawab "Nanti sore ya, tunggu aku dirumahmu!"

Perasaan Adam campur aduk antara sedih dan gembira. Sedih bila mengingat rumahnya yang selalu sepi dari gelak dan tawa canda. Dan gembira, karena sebentar lagi dia akan merasakan juga suasana rumah yang kekeluargaan, meskipun bukan di rumahnya sendiri.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


"Ma... boleh ya?"

"Apa sayang?"

"Aku mau beli mobil Tamiya lagi, boleh kan ma?"

"Bukannya mas Atha tadi sudah beli?"

"Iya sudah dua kali... tapi sudah rusak semuanya ma..." Atha mulai merajuk. Mama yang mendengar perubahan nada suara anaknya hanya tersenyum.

"Lho... kalau uangnya dipakai untuk beli mainan semua, nanti tidak jadi beli es krim." sahut mama. Atha hanya terdiam. 

Sebenarnya dia juga ingin membeli es krim, tapi mobil tamiyanya rusak. Sedangkan uang sangu dari pakde yang datang tempo hari, hanya cukup untuk beli salah satunya. Pikirannya menimbang-nimbang, antara beli es krim atau beli Tamiya.

"Aku akan beli tamiya lagi ah... nanti beli eskrimnya minta uang sama mama," pikir Atha.

Mama menyeka peluh yang menetes di wajahnya. Melihat mama yang terlihat lelah, Atha jadi tidak tega. Sudah setahun ini mama berjualan kue, terkadang juga menerima pesanan. Meskipun capek karena banyak pesanan, mama mengerjakan sendiri semua pesanan itu. "Untuk menjaga kualitas, lagipula kalau dikerjakan sendiri keuntungannya lebih banyak," begitu kata mama.

"Hufftt..." Atha menarik nafas panjang. Ayahnya bekerja di luar kota dan pulang setiap akhir pekan. Menunggu ayah akan terasa lama, karena hari ini masih hari Selasa. 

Dilihatnya lagi dua mobil tamiya itu. Yang berwarna merah rusak karena pengait antara motor penggerak dan badan mobil patah. Atha sudah mencoba memperbaiki dengan merekatkan kembali menggunakan lem besi. Tapi karena penampangnya terlalu kecil, pengait itu tidak bisa disambung. Sedangkan yang Hijau, semuanya utuh hanya motornya yang tiba- tiba berhenti tidak mau menyala. Sudah dicobanya dengan mengganti baterai, tapi hasilnya nihil. Motor penggeraknya sudah benar-benar rusak. Mungkin rusak karena sempat terjatuh.

Mama berjalan ke arah garasi sambil menjinjing container plastik berisi kue. "Tunggu dirumah sebentar ya... jangan kemana-mana. Mama mau mengantarkan kue pesanan tante Zahra. Nanti kalau adik bangun, bilang saja kalau mama sebentar lagi pulang." kata mama sambil bergegas.

"Oh ya...nanti kalau mama sudah pulang, boleh mama lihat tamiyanya? Siapa tahu mama bisa membetulkan, mama berangkat dulu. Assalamualaikum." lanjut mama.

"Waalaikumsalam," jawab Atha. "Mama mau membetulkan tamiyaku? Memangnya mama bisa?" pikir Atha. Tiba-tiba terdengar suara adik yang bangun tidur dan memanggil mama. Segera dihampirinya sang adik, dia ajak bermain agar tidak merengek mencari mama lagi.

Karena asyik bermain, tanpa disadari oleh Atha, mama sudah datang dari mengantarkan pesanan kue.

"Mas Atha, mana tamiya yang rusak? Biar mama lihat, siapa tahu bisa dibetulkan." kata mama. "Mama nggak capek?" tanya Atha. "Cuma sedikit." jawab mama sambil tersenyum.

Atha menjelaskan kerusakan mobil tamiya itu kepada mama. Tak lupa dia jelaskan juga usahanya dalam memperbaiki mainan itu. Mama mengangguk-angguk mendengar penjelasan Atha. Dengan terampil, mama melepas motor penggerak di kedua mainan itu. Kemudian motor dari mobil merah, dipasangkan ke mobil tamiya hijau.

Atha tertegun melihat apa yang dilakukan mama. Tak pernah terpikir olehnya menukar motor dari kedua mainannya itu agar bisa digunakan. 

"Tarrraaa... sudah selesai, sekarang coba nyalakan!" kata mama. Atha meraih mobil mainannya kemudian ditekannya tombol "on" . Tiba-tiba roda mainan itu berputar dengan kencang.

Atha memeluk mama sambil mengucapkan terima kasih. Berkat ketrampilan mama, kini mobil tamiyanya bisa digunakan lagi. Dan Atha masih bisa beli es krim tanpa meminta uang kepada mama.

Catatan :
Kata yang dicetak miring : sangu dan container
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Aline mondar mandir di kamarnya. Sesekali dimainkannya dua ujung rambutnya yang di kepang kuda. Sudah dua hari ini dia gelisah. Perutnya mendadak mulas tiap hendak berangkat ke sekolah. Beruntung Pak Min, tukang becak langganannya selalu sabar menunggu.
"Huft...." Aline mendengus kesal. Kalau saja di sekolah tidak ada anak usil bernama Tino. Kalau saja tidak ada pohon kedondong itu di sekolah, kalau saja aku tidak sekolah disana, kalau saja...kalau saja....
Pikiran Aline terus melayang-layang, berandai-andai. Namun akhirnya dia menyadari kalau memang ada temannya yang super usil bernama Tino. Bahwa disekolahnya ada pohon kedondong yang sekarang sedang berbahagia karena sedang dikunjungi oleh teman kecilnya yang bernama ulat bulu.
"Hiii.." Aline bergidik ngeri bila teringat pohon kedondong itu. Saking banyaknya ulat bulu yang menempel, sampai-sampai daunnya habis semua dimakan ulat bulu itu dan batang pohonnya tidak terlihat. Aline sangat takut pada ulat bulu. Perut Aline terasa makin mulas. Memaksanya untuk ke kamar mandi.
Sambil melepas kaus kakinya, Aline teringat kejadian kemarin, ketika Dita sahabatnya ditakut-takuti ulat bulu oleh Tino. Ketika Dita berteriak-teriak ketakutan, tawa Tino justru semakin keras. Beruntung ada bu Dora, guru kelas satu yang lewat didepan kelas Aline. Alhasil, Tino pun mendapat teguran dari Bu Dora.  Aline tidak ingin ditakut-takuti ulat bulu itu.
Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepala Aline. Mulas di perutnya seketika lenyap. Dipakainya kaus kaki yang sudah terlanjur dilepas. Bergegas Aline menyambar tas dan langsung berangkat ke sekolah.

Teng teng teng...bel sekolah tanda istirahat berbunyi. Teman-teman sekelas Aline langsung berhamburan keluar kelas. Ada yang pergi ke kantin, perpustakaan, ada juga yang cuma mengobrol di depan kelas. Aline dan Dita sedang berjalan menuju kantin, ketika tiba-tiba Tino menghadang mereka. Tino memegang sebuah ranting kecil yang diujungnya ada seekor ulat bulu. Ulat itu meliuk-liuk, bulunya tebal mengelilingi sekujur tubuhnya. Aline merasa geli dan takut. Ingin rasanya dia berteriak sambil lari menjauh.
Tiba-tiba Tino melempar ranting dan ulat itu ke arah Aline.
"Aline,awas..." Teriak Dita sambil berlari.
Aline terkejut, dadanya berdegup kencang. Ulat itu menempel di rok seragamnya. Sedangkan ranting kecil itu jatuh ke lantai. Ulat itu merambat, berjalan perlahan.
Untunglah Aline teringat idenya. Dengan wajah dibuat setenang mungkin, Aline mengambil ranting kecil. Lalu dengan gaya santai, dikaitnya ulat bulu yang menempel di pakaiannya. Diarahkannya ujung ranting itu ke arah Tino.
"Ini ulatmu aku kembalikan" kata Aline.
"Hah?" Tino terkejut, "Kamu nggak takut sama ulat bulu?" Tanyanya
Aline hanya tersenyum. Ulat itu bergerak - gerak, dengan reflek Aline menyentak ranting yang dipegangnya. Wajah Tino pucat pasi, tak disangkanya Aline akan menakutinya dengan ulat bulu itu. Diapun berlari menjauh.
Aline menarik nafas lega. Setelah membuang ulat itu ke taman sekolah, Aline menghampiri Dita.
"Wah hebat kamu Aline, nggak takut sama ulat bulu" Kata Dita.
"Siapa bilang? Justru karena takut ulat bulu aku berpura-pura berani, agar tidak ditakut-takuti sama si Tino" Jawab Aline.
"Hah, jadi kamu tadi cuma akting berani?" Tanya Dita penasaran.
"Iya hehehe...." Jawab Aline sambil tertawa.
"Tapi menurutku, tadi itu bukan akting...kamu itu betulan berani, buktinya ulat itu kamu ambil sendiri, meskipun pakai ranting" ujar Dita.
"Iya..ya..." Kedua sahabat itu tertawa bersama-sama.
 Aline merasa senang sekali karena sudah bisa melawan rasa takutnya pada ulat bulu. Dia pun kini mengerti bahwa rasa takut itu ternyata bisa dikalahkan jika dia punya kemauan.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Cerita tentang Kopi

Dipetiknya perlahan biji-biji kopi yang merah, dia jaga benar-benar agar tangkainya tak ikut patah ” Bisa-bisa aku menunggu panen dua tahun lagi , kalau sampai tangkai-tangkai ini patah” pikirnya. Sesekali disekanya butiran keringat yang menetes dari kulit wajahnya. Matahari begitu terik, tapi dia harus tetap memetik kopi, sayang sekali buah kopi yang sudah merah itu kalau tidak segera dipetik, bisa rontok dan tangkainya jadi kering.

“Sudah dua hari bubuk kopi dirumah habis, kasihan suamiku tak bisa minum kopi lagi” Perempuan itu bergumam sendiri sambil memikirkan apa-apa yang akan dilakukannya nanti setelah memetik kopi.

“Biarlah kutunggu sampai matahari agak turun, lalu aku akan goreng kopi yang sudah kering itu” ujarnya lagi.
Sudah lima belas hari lebih biji-biji kopi yang kini sedang dijemur di emperan rumahnya itu dia bawa keluar masuk tiap pagi dan sore. Tak jarang dia harus berkejaran dengan hujan, agar biji kopinya tak basah oleh air yang turun dari langit itu.
Dilihatnya keranjang bambunya sudah hampir penuh oleh biji kopi segar. “Ah kugiling saja kopi segar ini biar kulitnya pecah, bisa langsung kujemur esok hari” Dibawanya keranjang itu ke belakang rumahnya. Dengan sebuah gilingan kayu, digilingnya kopi-kopi itu sampai kulitnya pecah dan biji-biji kopi yang lengket itu menyembul keluar.

Setelah urusan dengan kopi segar itu selesai. Diambilnya kayu bakar, yang kemudian disulutnya kayu itu di tungku. Diatas tungku itu sudah bertengger     sebuah sangan, wajan dari tanah untuk menyangraikopi.

Disangrainya biji kopi kering yang sudah dijemurnya berhari-hari. Api dijaga tak terlalu besar, agar kopi tidak gosong. tangannya tak henti-henti bergerak membolak-balik kopi diatas wajan dengan sutil kayu.
Peluh semakin membanjiri tubuhnya. Sudah tak dihiraukannya lagi rasa letih yang menyerang. Dia hanya memikirkan suaminya yang sudah dua hari tidak minum kopi. Dia hanya ingin suaminya bisa minum kopi buatannya malam ini.

Hampir dua jam untuk membuat biji-biji kopi diatas wajan itu berubah warna. Menghitam, dengan aroma yang khas. Setelah dingin, ditumbuknya biji-biji kopi itu di sebuah lesung batu.
“Dug” suara alu beradu dengan biji kopi dan dinding lesung batu.
“Dug dug ” Biji kopi pecah menjadi butiran kecil, iramanya memecah kesunyian.
“Dug dug dug” suaranya membangunkan serangga-serangga yang selalu bersenandung ketika matahari hendak tenggelam.

Kini suara alu, bubuk kopi dan lesung ditemani oleh nyanyian serangga. Diayaknya bubuk kopi itu, yang sudah halus dimasukkan ke dalam toples kaca, yang masih kasar ditumbuk lagi. Dilakukannya berulang-ulang sampai semua menjadi bubuk kopi halus.
Nampak sekulum senyum di bibirnya.” Selesai sudah pekerjaanku, sebentar lagi suamiku pulang, dia pasti senang bisa minum kopi kegemarannya”

Toples kaca yang penuh bubuk kopi dan sudah tertutup rapat itu dipandangi dengan rasa puas.
Diseretnya sebuah kursi tua, rupanya dia hendak menyimpan toples itu di lemari bagian atas. Tubuhnya tak begitu tinggi sehingga memerlukan kursi tua itu sebagai tumpuan. Tiba-tiba sesuatu menyergap wajahnya
“Aahhh” teriaknya.
Karena terkejut, toples kaca itu terlempar ke atas.
” Pyarrr”
Suara toples beradu dengan lesung batu yang belum sempat dikembalikan ketempatnya. Toples hancur, isinya bertebaran dilantai tanah bercampur dengan pecahan kaca.
Perempuan itu hanya terpaku
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

Hi, there...I am



Retno Kusuma Wardani
Mom of three,
Menulis sebagai sarana berbagi dan
Mengasah diri
Email kerjasama : retno.kwardani17@gmail.com
IBX58BD2F062B3FE

Follow Us

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram

Popular Posts

  • GrownHealth, Madu Suplemen Pertumbuhan, yang Membantu Meningkatkan Kecerdasan, Menjaga Daya Tahan Tubuh dan Sangat Disukai Anak-anak.
  • Milkindo : Wisata Edukasi Sapi Perah di Kepanjen yang Instagramable
  • Antara Bakwan Malang, Bakso Malang dan Lebaran Kuda
  • Macam-macam Istilah yang Digunakan dalam Jual Beli secara Online
  • Tampil Beda dengan Handsock dan Ciput Kesan Langsing dari IndBlack

blog kece lainnya..

  • Fiksi Lizz
    [Cerbung] Bias Renjana #39
  • Artadhitive
    4 Plugin Wordpress untuk Melancarkan Bisnis Online Kalian
  • The Yustiars
    Mengenal Candi Prambanan Melalui Angka
  • Catatan Kecil Liy
    Sayembara Askar (20)

Label Cloud

review cerita Resep tips travel Fiksi parenting lomba blog beauty cemilan profil Puisi tekno tentang anak food and beverage jalan-jalan Curhat finance kesehatan Cake Donat dan roti cernak fashion makan Ayam dan ikan Cermin Cerpen home property cookies DIY Sambel Tahu tempe cari tahu hotel humaniora cerkak ngalaman humor

Blog Archive

  • ▼  2019 (58)
    • ▼  November (7)
      • Trans Studio Bandung, Wahana Permainan Lengkap Ber...
      • Akhir Tahun yang Bahagia bersama Goldmart End Of ...
      • Perhatikan 9 Komponen Ini Sebelum Anda Membeli Sma...
      • Sari Temulawak dan Segudang Manfaatnya, Menemani H...
      • Spesifikasi Mesin Toyota Calya dan Harga Terbaru
      • New Yaris, Hatchback Modern Dengan Kemampuan Handa...
      • Koperasi Digital, Koperasi Zaman Now untuk Generas...
    • ►  October (5)
    • ►  September (4)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  June (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (5)
    • ►  March (10)
    • ►  February (5)
    • ►  January (4)
  • ►  2018 (103)
    • ►  December (7)
    • ►  November (9)
    • ►  October (8)
    • ►  September (11)
    • ►  August (8)
    • ►  July (8)
    • ►  June (6)
    • ►  May (17)
    • ►  April (7)
    • ►  March (10)
    • ►  February (7)
    • ►  January (5)
  • ►  2017 (89)
    • ►  December (3)
    • ►  November (7)
    • ►  October (7)
    • ►  September (7)
    • ►  August (11)
    • ►  July (6)
    • ►  June (11)
    • ►  May (8)
    • ►  April (9)
    • ►  March (7)
    • ►  February (6)
    • ►  January (7)
  • ►  2016 (88)
    • ►  December (6)
    • ►  November (7)
    • ►  October (8)
    • ►  September (8)
    • ►  August (5)
    • ►  July (3)
    • ►  June (5)
    • ►  May (6)
    • ►  April (6)
    • ►  March (12)
    • ►  February (10)
    • ►  January (12)
  • ►  2015 (53)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (12)
    • ►  September (6)
    • ►  May (5)
    • ►  April (3)
    • ►  March (10)
    • ►  February (10)
    • ►  January (4)
  • ►  2014 (15)
    • ►  December (6)
    • ►  March (7)
    • ►  January (2)
  • ►  2013 (13)
    • ►  December (8)
    • ►  November (5)

Followers

Member Of




blogger malang citizen


bannermemberfloral

https://www.facebook.com/groups/1949767178581022/

viva

Facebook Twitter Instagram RSS

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates