cerita

(GA) Permainan Masa Kecil : Adakah yang lebih menyenangkan dari ini?

20.19.00


bermain congklak


Kalau mengingat masa kecil… wah takkan habis waktu untuk bercerita. Maklumlah saya tinggal di sebuah desa di Kabupaten Malang yang jaraknya lebih dari 40 km dari kota Malang. Kalau sekarang, jarak 40 km mah kecil …palingan sejam udah nyampek. Tapi kalau dulu, setengah hari baru nyampek. Karena jalannya belum semulus sekarang, jalan macadam yang batunya segede-gede kepala, medannya pun naik turun dan berkelok kelok. Persis dah sama lagunya Kacung Kampret.

Karena saking ndesonya itulah, pada waktu saya masih kecil belum ada listrik, dan memasak masih pakai tungku. Kalau dirumah sih Alhamdulillah Ibu sudah punya kompor minyak tanah yang bisa digunakan saat darurat.

Yang namanya belum ada listrik, lampu pun masih pakai petromak dan lampu teplok. Jadi jangan heran kalau bangun pagi lubang hidung pada item semua.  Alhamdulillahnya lagi, meskipun belum ada listrik tapi bapak mempunyai sebuah TV hitam putih yang nyalainnya pakai tenaga ACCU.

Jadi teringat, dulu tetangga yang notabene masih saudara (maklumlah tinggal di desa, orang sekampung saudara semua) ikut menonton TV di rumah. Ada yang bawa bantal, ada yang bawa selimut. Maklumlah satu keluarga nonton semua, kalau ngantuk tinggal tidur aja. Ntar kalau acara TV udah habis tinggal dibangunin terus pulang deh.

Yang lebih seru kalau ada pertandingan tinju Mike Tyson. Yang nonton lebih banyak lagi, sampai TV digotong ke teras. Bahkan penjual bakso langganan, jualan di depan rumah. Baksonya jadi langganan karena emang cuma beliau satu-satunya yang jual hihihihi.

Karena belum ada listrik, maka saat-saat yang dinanti adalah bulan purnama. Karena selepas mengaji, kami masih diijinkan bermain di luar, yaitu di halaman rumah nenek yang luas. Kebetulan rumah nenek tepat di sebelah rumah. Saya pun ikut bermain bersama sepupu-sepupu yang banyak jumlahnya.

Semua pun ikut bermain dari yang belum sekolah sampai yang sudah remaja. Biasanya yang paling kecil juga ikut tapi jadi pupuk bawang alias tidak diperhitungkan. Permainan yang sering kami lakukan adalah Tekongan. Tekongan yaitu sejenis permainan petak umpet. Masing- masing peserta membawa geco . yang sering digunakan untuk geco adalah pecahan genting.

Adapun aturan permainannya adalah salah satu peserta membut garis. Lalu semua peserta melempar geco ke arah garis tersebut. Geco yang paling jauh dari garis akan jadi penjaga. Kalau petak umpet jaman sekarang waktu untuk sembunyi adalah berdasarkan penyebutan angka sampai sepuluh atau dua puluh. Tapi kalau tekongan, waktu yang diberikan untuk mencari persembunyian adalah lamanya menumpuk pecahan genteng. Kalau susunan geco/pecahan genteng itu rubuh maka penjaga harus menyusunnya lagi. Maka waktu untuk mencari tempat persembunyian pun semakin panjang.

Apabila ada peserta lain yang ketahuan tempat persembunyiannya, maka penjaga dan peserta tersebut harus rebutan untuk merobohkan susunan genteng tersebut. Yang lebih dulu merobohkan (biasanya dengan menendang susunan genteng) maka dia menang. Dan yang kalah akan jadi penjaga. Begitu seterusnya.

Anak-anakku senang sekali main petak umpet, tapi mereka menyebutnya tekongan juga. Biasanya mereka main tekongan di dalam rumah kalau diluar sedang hujan, atau  ketika mereka tidak boleh main di luar sama emaknya. Karena bersaudara cuma bertiga, maka emaknya lah yang didaulat jadi pemain tambahan. Duh… lumayan juga itung-itung olah raga.

Selain main tekongan, dulu saya sering main congklak, hanya saja saya menyebutnya dakon. Tidak usah beli papan dan biji congklaknya. Cukup dengan menggambar kotak-kotak di lantai. Sedangkan biji congklaknya adalah kerikil yang ada di halaman. Pernah suatu hari saya hendak bermain congklak bersama sepupu saya. Kamipun mencari kerikil di depan rumah. Satu persatu saya mengambil kerikil di tanah. Tiba-tiba saya memegang kerikil yang lunak. Setelah saya cium baunya, ternyata itu adalah kotoran ayam saudaraa. Bentuk dan warnanya mirip sekali dengan kerikil …hiks.
Saya pun mengajarkan permainan congklak ini pada anak-anak. Alhamdulillah, permainan ini cukup mengalihkan perhatian mereka, sehingga tidak mengajak emaknya main tekongan lagi.

Selain dua permainan di atas ada lagi permainan yang sering saya lakukan. Yaitu pel-pelan atau kejar-kejaran. Kalau biasanya anak-anak lain main kejar-kejaran di halaman, saya dan sepupu-sepupu saya main kejar-kejaran di atas pohon (saya udah tomboy dari lahir, jadi... harap maklum). Kebetulan bapak dulu memiliki kebun cengkeh yang pohonnya cukup tua. Sehingga jarak antar pohon itu begitu dekat. Kami dapat berpindah dari satu pohon ke pohon lain tanpa menginjak tanah.

Aturan mainnya adalah yang jadi pengejar harus bisa mengejar dan menangkap pemain lainnya. Yang tertangkap jadi pengejar. Tapi apabila ada pemain lain jatuh dan menginjak tanah, maka dia yang jadi pengejar.

Ssssttt permainan ini belum pernah saya ceritakan ke anak-anak. Cukuplah ada di jaman saya aja heheheh. Suka mules perut saya kalau lihat anak-anak naik pohon.

Masih banyak permainan yang dulu saya lakukan, tapi tidak mungkin saya menuliskannya semua disini. Yang selalu saya rasakan ketika mengingat masa kecil adalah perasaan yang meledak-ledak. Mungkin karena masa kecil saya yang menyenangkan yang jadi penyebabnya. Bayangkan, berlarian di sawah dan mengusir burung-burung yang makan padi. Naik bukit lalu lari terbirit-birit karena bertemu ular. Hehehehehe...

Saya bersyukur sekali telah merasakan itu semua dan terima kasih tak terhingga untuk Bapak dan Ibu yang telah memberikan kesempatan, sehingga saya bisa merasakan masa kecil yang menyenangkan.

Terima kasih juga kepada Mama Calvin dan Bunda Salfa yang mengingatkan saya pada memori yang indah ini.

"Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Permainan Masa Kecil yang diselenggarakan oleh mama Calvin dan Bunda Salfa


source gambar congklak :azdindeviantart.com



You Might Also Like

0 comments